Namanya
Franklin. Pemuda Hispanic (keturunan
Amerika selatan) itu mulai aktif mengikuti kajian The Islamic Forum for New/non-Muslim yang di asuh oleh ustadz Ali
Syamsi di Islamic Cultural Center of New
York. Baru sepekan menjadi seorang muslim, pemuda itu sudah membawa kedua
orang temannya untuk ikut bersyahadat. Satu hidayah datang, menyalakan
kerinduan akan ketenangan hidup. Menyulutkan semangat-semangat lain untuk
menemukan tujuan hidup. Namun satu hal yang masih mengganjal dihati ustadz
Syamsi, apa saja yang telah dikatakan Franklin pada kedua temannya itu sehingga
mereka dengan mudahnya menyatakan untuk ikut bersyahadat. Pernyataan itu
akhirnya terjawab setelah Franklin mengirimkan transkrip percakapan internet (Chatting) dengan seorang pemuda lain
yang berasal dari New York upstate. Mengesankan,
siapa yang menduga kalau ternyata Franklin berkenalan dengan dua orang temannya
melalui situs jejaring sosial dan pada saat yang sama mereka berjanji untuk
bertemu di Manhattan. Hanya itu, Franklin hanya menyampaikan tentang keesaan
Allah SWT tapi kata-kata itu seperti ditiupi ruh. Tentu saja bukan Franklin
yang mampu menyentuh hati kedua orang itu, bukan. Franklin hanya “berusaha”
menyampaikan, lalu dengan mudah Allah menggerakkan hati para pemuda itu untuk
tidak ragu-ragu menerima ajakan Franklin.
Kisah
lain pun terjadi berabad-abad lalu. Hal yang sama, namun lebih memilukan hati.
Ketika matahari sedang berada pada puncaknya, pemuda berkulit hitam itu ditarik
paksa oleh majikannya. Badannya direbahkan pada panasnya gurun pasir di tanah
Mekah. Tak hanya berhenti disitu, majikannya juga menaruh bebatuan diatas
punggungnya. Membiarkan tubuh pemuda itu terpanggang dibawah sengatan teriknya
matahari. “apa kau masih akan mempertahankan agama sihirmu?” majikannya
bersuara lantang. Pemuda itu hanya berkata “ahad,ahad,ahad”.
Tak terelakkan lagi, beberapa cambukan pun harus didapati. Berkali-kali
cambukan itu menyentuh kulitnya. Perih, tapi tak dirasa. Padahal luka menganga
dimana-mana. Pemuda itu begitu teguh dengan keimanannya. Dia hanya mendengar
seruan Rosululloh tentang keesaan Allah, sama sekali belum bertemu dengan
baginda Rosul. Pemuda itu bernama Bilal bin Rabbah, seorang budak yang kemudian
terlepas dari siksaan-siksaan majikannya setelah Umar membelinya dan
memerdakakannnya dalam waktu yang sama.
Franklin,
lelaki itu berusaha menyampaikan Islam dengan caranya. Tak ada nada paksaan
disana. Lalu dua orang temannya dengan mudah ikut bersamanya menjadi mualaf. Rosulullah,
berdakwah sebagaimana Allah Swt memberinya kepercayaan bahwa Islam akan
tersebar mula-mula dari dirinya. Rosulullah tak mengenal Bilal bahkan
melihatnya saja belum pernah, akan tetapi seruan Rosulullah untuk umat manusia
itu telah sampai kepada Bilal dan berhasil mengukuhkan keimanannya terhadap Allah Swt. Ternyata jauhnya jarak
bukan halangan untuk terus melangkah dan terus berbuat. Siapa tahu dengan terus
bergerak kita bisa menjadi perantara manusia lain untuk lebih mengenal
Tuhannya.
Comments
Post a Comment