“Daripada menangisi apa
yang hilang, lebih baik menghargai apa yang tersisa.” Begitu
ucap dokter Hiroko pada Aya. Ucapan itu berangsur-angsur membuat Aya, gadis
yang beranjak dewasa itu kembali menyalakan semangat hidupnya setelah agak
terpukul dengan perkembangan kesehatannya yang semakin hari semakin menurun.
Ia seperti kehilangan masa depan, otot di seluruh organ tubuhnya semakin sulit untuk digerakan. Hari-harinya yang seharusnya ia lalui dengan optimis untuk meraih cita-cita menjadi sebuah mimpi buruk baginya. Bahkan untuk membayangkan sepuluh tahun yang akan datang saja ia tak mampu. Rasa syukur begitu dalam ia rasa atas hari-hari yang ia lalui meski tahu hidupnya tak akan bertahan lama. Tubuhnya mengecil jauh dari kata bugar, dibalik badan kecilnya ada semangat hidup luar biasa yang membuat orang-orang di sekitarnya, bahkan pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit yang sama dengannya sempat putus asa karena stroke yang ia alami menyebabkan separuh tubuh sebelah kanannya tidak bisa berfungsi lagi, namun melihat remaja yang jauh dari kata sembuh total dengan semangat hidup tinggi membuatnya kembali untuk menghidupkan detik-detik kehidupan dalam dirinya.
Ia seperti kehilangan masa depan, otot di seluruh organ tubuhnya semakin sulit untuk digerakan. Hari-harinya yang seharusnya ia lalui dengan optimis untuk meraih cita-cita menjadi sebuah mimpi buruk baginya. Bahkan untuk membayangkan sepuluh tahun yang akan datang saja ia tak mampu. Rasa syukur begitu dalam ia rasa atas hari-hari yang ia lalui meski tahu hidupnya tak akan bertahan lama. Tubuhnya mengecil jauh dari kata bugar, dibalik badan kecilnya ada semangat hidup luar biasa yang membuat orang-orang di sekitarnya, bahkan pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit yang sama dengannya sempat putus asa karena stroke yang ia alami menyebabkan separuh tubuh sebelah kanannya tidak bisa berfungsi lagi, namun melihat remaja yang jauh dari kata sembuh total dengan semangat hidup tinggi membuatnya kembali untuk menghidupkan detik-detik kehidupan dalam dirinya.
Itu
sedikit cerita yang sempat ku baca dari buku “One Liter of Tears” yang di tulis
oleh Aya Kito. Buku ini berkisah tentang kehidupannya selama mengidap penyakit
spinocerebellar ataxia (SCA) yang menyebabkan ketidakseimbangan daya kerja
saraf dalam tubuh. Itulah penyebabkan sel saraf sumsum tulang belakang, otak
kecil, dan penghubung otak-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan
fungsinya. Belum diketahui apa penyebab penyakit ini. Terlepas dari penyakit
yang menghadapkan seorang gadis beranjak dewasa dengan segala hal yang membuat
gerak hidupnya terasa sulit, ada banyak kisah yang dapat diambil sebagai
pelajaran bagi kita yang berada dalam kesehatan yang baik maupun yang sedang
menjalani berbagai terapi penyembuhan. Peran ibu Aya seperti yang di kisahkan
dalam buku diarinya itu cukup membuatnya terlindungi dari sisi mental meski tak
bisa dipungkiri keadaan seperti ini akan membuat dirinya rendah diri karena tak
dapat melakukan pekerjaannnya sendiri, merasa tidak berguna dan selalu
bergantung pada orang lain. Lalu bagaimana mungkin dengan segala keterbatasan
yang ia miliki, Aya begitu bersemangat untuk tetap hidup seperti yang ia tulis
“Aku bersumpah tak akan menyerah. Aku harus berjuang melawan penyakitku! Meski
musim terus berganti, manusia harus tetap hidup.”
Peran
ibunya sangat penting disaat kondisi terberat harus diraskan olehnya. Di
tengah-tengah sakit yang perlahan melemahkan sistem saraf dalam tubuh, Aya
sering menuliskan segala hal yang ia lalui pada sebuah catatan harian. Kurang
lebih sekitar empat belas buku harian telah ia selesaikan. Sebuah rekaman
jejak, luapan perasaan yang menggebu untuk tetap bertahan hidup itu kini telah
dibaca sekian juta orang di dunia. Tidak sedikit dari pembaca yang termotivasi
setelah menyelesaikan membaca catatan harian Aya Kito. Meski saat ia sakit pun
ibunya jarang berada disisinya karena harus tetap bekerja demi menyambung
hidup, sesekali sang ibu membelikan buku-buku motivasi terutama tentang
biografi seseorang yang mengalami hal yang sama dengannya. Dengan begitu sang
ibu berharap anak perempuannya akan lebih bersemangat dan tidak merasa menjadi
orang yang aling malang di dunia ini. Benar saja, tangan kanannya
berangsur-angsur sulit untuk digerakkan namun pada masa-masa itu dengan
terbata-bata ia terus menuliskan segala hal yang ia rasakan.

Kebetulan
aku memiliki nama panggilan yang sama dengan Aya. Beberapa orang terdekat memanggilku Aya, it’s not because I love this book. There is anothet story about
it, whatever thanks to God that I am in a good health so far. Mungkin itu yang
membuatku tertarik untuk menonton filmnya hingga usai tiap episodenya. Film itu benar-benar berhasil sejenak merampas rasa bahagiaku dan tenggelam dalam suasana kehidupan Aya Kito atau Aya chan, begitu panggil dokter Hiroto. Lalu munculah keinginan untuk membaca buku yang di tulis sendiri oleh pelaku dalam serial drama jepang "One Liter of Tears". alhamdulillah setelah sekian lama mencari-cari buku ini, akhirnya bisa ku genggam buku ini dan telah selesai membacanya. Ulasan ini hanya sedikit cerita yang ada dalam buku Aya Kito,
untuk lebih lanjutnya silahkan baca bukunya sendiri, semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment