Pernah suatu ketika dapat nasi kotak gratis
buat makan siang. Bersyukur banget ya dapat gratisan apa lagi pas tanggal tua ^_^dobel nih
bersyukurnya. Tapi mendadak jadi galau gara-gara paha ayam goreng. Jadi
ceritanya waktu makan sebagian daging ayamnya, terlihatlah darah yang masih
menempel diantara daging dan tulang.
Sudah terlanjur dikunyah dan ditelan, enak pula rasanya. Eh, baru keinget kan kalau darah hewan itu haram dikonsumsi.
Sudah terlanjur dikunyah dan ditelan, enak pula rasanya. Eh, baru keinget kan kalau darah hewan itu haram dikonsumsi.
Padahal tadi nggak tahu apakah sebagian darah yang ada ditulang terlanjur dimakan apa nggak. Bingungnya lagi, mau dilanjut nggak makannya kan enak banget ayam gorengnya hi...hi...hi...
Kegalauanku
akhirnya terjawab setelah membaca salah satu ulasan yang ditulis oleh Dr. Ahmad
Zain An- Najah, MA di majalah Ar Risalah.
Jadi
merujuk pada sebuah hadist yang berbunyi “ Dihalalkan bagi kita dua macam
bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan,
sedang dua macam darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Baca hadist
itu masih galau ya karena dua macam darah yang dihalalkan ternyata hati dan
limpa, terus bagaimana dengan darah yang masih menempel dibagian tulang ayam,
sapi atau kambing?
Nah,
ternyata para ulama memiliki 2 pendapat yang berbeda tentang masalah ini.
1. Pendapat Pertama
Pendapat
pertama : mengatakan bahwa darah yang tersisa dari sembelihan dan masih melekat
pada daging dan tulang itu tidak najis, jadi boleh dimakan. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama.
Dalil pertama yang digunakan pada pendapat ini
adalah merujuk pada firman Alloh SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh” (Qs. Al- An’am:145)
“Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Alloh” (Qs. Al- An’am:145)
Berkata
Qatadah “ yang diharamkan dari darah adalah yang mengalir, adapun daging yang
tercampur dengan darah maka tidak apa-apa.” (Tafsir Ibnu Katsir : 3/352)
Berkata pula
Ibnu Juraij, Al masfuh adalah darah yang dialirkan (ketika disembelih ), adapun
yang masih tersisa di urat-urat, maka tidak apa-apa.”
Kedua :
Atsar Abdullah bin Umar bahwasanya mereka beliau berkata:
“ Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan
dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedang dua
macam darah adalah hati dan limpa.” ( Atsar di atas diriwayatkan oleh HR. Ibnu
Majah dan Ahmad, dan dishahihkan oleh Daruqutni dan Hakim. Berkata Ibnu Hajar:
Atsar ini dikategorikan hadist marfu’)
Ketiga:
Ternyata para sahabat dahulu dan orang-orang sesudahnya secara turun temurun
biasa memakan daging kambing atau unta dengan cara dibakar tanpa dicuci
terlebih dahulu, hal ini menunjukkan kebolehannya. Sekaligus menunjukkan bahwa
agama Islam itu mudah.
Keempat:
Berkata Syekh Utsmain di dalam fatwanya: “Darah mengalir yang dilarang untuk
dimakan adalah darah yang keluar dari binatang ketika masih hidup, sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang jahiiliyah dulu, ketika salah satu dari mereka
lapar, langsung melukai untanya dan meminum darahnya. Inilah darahynag
diharamkan. Begitu juga darah yang keluar ketika penyembelihan sebelum binatang
itu mati. (islamfeqh.com)
2.
Pendapat kedua
Pendapat
Kedua: mengatakan bahwa darah yang tersisa dari sembelihan dan masih
menyangkut pada daging dan tulang itu najis, namun hal itu dimaafkan dan boleh
dimakan karena sulit untuk dihindari. Yang ini merupakan pendapat beberapa
ulama madzhab Syafi’i.
Dalil yang
menjadi rujukan mereka yaitu:
Pertama:
Firman Alloh SWT
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Alloh.”( QS. Al-Maidah:3)
Ayat diatas masih bersifat mutlak jadi seluruh darah dianggap najis.
Perbedaan antara darah yang mengalir dan tidak mengalir itu bahwa darah yang
mengalir (al-masfuh) dianggap banyak sedangkan yang tidak mengalir dianggap
sedikit, namun semua itu tetap najis. Hanya saja najis yang sedikit dimaafkan,
jadi boleh dimakan. (Bidayat al-Mujtahid:1/80)
Nah, kesimpulan dari keterangan diatas bias kita ambil benang merahnya
bahwa darah yang masih tersisa setelah penyembelihan, dan masih menempel dalam
daging, tulang maupun urat, hukumnya halal dimakan, karena yang diharamkan
hanya darah yang mengalir yang disebabkan sembelihan, dan bukan darah yang
menempel. Ini menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan pendapat uala syafi’iah-
walaupun berpendapat darah tersebut najis- tapi mereka tetap membolehkan
mengolah dan mengonsumsi daging itu karena terdapat sedikit darah dan sulit
untuk dihindari. Wallahu’alam
Sumber :
Ar Risalah I No. 141/ Vol.XII/ 16 Robi’ul Tsani – Jumadil Ula 1434H/
Maret 2013
Comments
Post a Comment