“hidup itu
sederhana “ begitu kata Rhonda Byrne dalam bukunya yang bertajuk “The Power”.
Ya hidup memang sederhana, karena sesungguhnya semua unsur kejadian yang
manusia lewati itu tergantung pada satu hal yaitu “pemaknaan”. Memaknai setiap
liku rute jalan yang telah kita pilih sangat berpengaruh terhadap perasaan kita.
Ketika manusia dihadapkan pada setumpuk ujian hidup yang tidak mudah untuk
dilalui, dia tetap saja bisa merasa bahagia. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa
jika kita memaknai ujian itu adalah jembatan untuk mengembangkan kita menjadi
manusia yang lebih sukses dan lebih baik dalam segala aspek kehidupan, tentu
kita akan antusias menghadapi ujian itu dengan menanamkan pemaknaan bahagia
dalam menyelesaikan semua urusan hidup kita. Ada sebuah cerita yang sederhana
tapi sangat menginspirasi saya hari ini. ada seorang ibu yang berprofesi
sebagai seorang guru. Dia bukan tidak berpengalaman, dilihat dari masa jabatan
sebagai seorang guru dan kemampuan mengajar sudah dapat dinilai bagus. Etos kerja
dan motivasi altruistiknya untuk mengajar begitu mendominasi.
Tapi apa yang terjadi ketika usahanya untuk ikut terjun didunia pendidikan itu dipatahkan ditengah jalan hanya karena ada seseorang menganggap ilmunya belumlah cukup untuk disampaikan kepada anak didiknya. Menyakitkan? Tentu tidak hanya berhenti disitu. Keberadaannya sebagai seorang pendidik seakan tak dianggap. Seperti menelan pil pahit dan harus dinikmati pahitnya pil itu diatas lidah kita selama berjam-jam. Hatinya bergemuruh bukan marah tapi rasa malu karena merasa belum bisa memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Disaat itu pula seorang teman datang padanya. Hal serupa juga pernah terjadi menimpa temannya. Dulu saya juga pernah mengalami hal yang serupa katanya. Saya memutuskan untuk menyampaikan permasalahan ini pada guru ngaji saya dan dia berkata jika motivasi anda mengajar selama ini hanya untuk “mereka” (manusia) maka mundurlah dari profesi anda sekarang tapi jika anda mengajar untuk Dia, untuk Allah SWT anggap saja ini iklan untuk mendapatkan ridho darinya. Ibarat kata saya ingin memberikan bingkisan kepada ibu lalu ditengah jalan perjalanan saya menuju rumah ibu ada orang yang berkomentar tentang bingkisan anda yang tidak sebagus bingkisan yang mereka bawa. Seharusnya saya tidak mendengarkan kata-kata orang itu karena tujuan saya adalah memberikan makanan ini untuk ibu bukan untuk orang yang berkomentar itu. Jelasnya panjang lebar.
Tapi apa yang terjadi ketika usahanya untuk ikut terjun didunia pendidikan itu dipatahkan ditengah jalan hanya karena ada seseorang menganggap ilmunya belumlah cukup untuk disampaikan kepada anak didiknya. Menyakitkan? Tentu tidak hanya berhenti disitu. Keberadaannya sebagai seorang pendidik seakan tak dianggap. Seperti menelan pil pahit dan harus dinikmati pahitnya pil itu diatas lidah kita selama berjam-jam. Hatinya bergemuruh bukan marah tapi rasa malu karena merasa belum bisa memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Disaat itu pula seorang teman datang padanya. Hal serupa juga pernah terjadi menimpa temannya. Dulu saya juga pernah mengalami hal yang serupa katanya. Saya memutuskan untuk menyampaikan permasalahan ini pada guru ngaji saya dan dia berkata jika motivasi anda mengajar selama ini hanya untuk “mereka” (manusia) maka mundurlah dari profesi anda sekarang tapi jika anda mengajar untuk Dia, untuk Allah SWT anggap saja ini iklan untuk mendapatkan ridho darinya. Ibarat kata saya ingin memberikan bingkisan kepada ibu lalu ditengah jalan perjalanan saya menuju rumah ibu ada orang yang berkomentar tentang bingkisan anda yang tidak sebagus bingkisan yang mereka bawa. Seharusnya saya tidak mendengarkan kata-kata orang itu karena tujuan saya adalah memberikan makanan ini untuk ibu bukan untuk orang yang berkomentar itu. Jelasnya panjang lebar.
Jadi jika hidup ini
kita maknai untuk mendapatkan ridho Allah SWT maka kita tak perlu khawatir
terhadap komentar yang bernada menjatuhkan diri kita, tujuan kita hanya pada
Allah SWT bukan lagi pada opini manusia lain. Tentu kita bisa memilih untuk
berbahagia melaluinya tanpa harus mendengarkan suara-suara yang menjatuhkan
kita, karena masih banyak suara-suara positif lain yang harus kita dengarkan agar
kita tumbuh menjadi pribadi unggul dan berahlak islami.
Comments
Post a Comment